Rabu, 10 Juli 2013

Berbagai Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran di sekolah Dasar


BAB II
TEORI-TEORI BELAJAR DAN PENERAPANNYA

A.     Pengertian Teori  Deskriptif dan Prespektif
Untuk membedakan antara teori pembelajaran dengan teori belajar bisa dibedakan dengan cara melihat dari posisional teorinya, apakah berada pada tataran teori deskriptif atau prespektif. Bruner (dalam Dageng,1989) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah prespektif dan teori belajar adalah deskriptif. Presfektif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan diantara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar. Sedangkan teori pembelajaran sebaliknya, teori ini menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Dengan kata lain, teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol variabel-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar (C. Asri Budiningsih, 2004).
Asri Budiningsih (2004) dalam buku Belajar dan Pembelajaran menjelaskan bahwa upaya dari Bruner untuk membedakan antara teori belajar yang deskriptif dan teori pembelajaran yang perspektif dikembangkan lebih lanjut oleh Reigeluth dan kawan-kawan, menyatakan bahwa Principles and theories of instructional design may be stated in either a deskriptif or prescriptive form. Teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajaran sebagai givens, dan menempatkan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati. Dengan kata lain, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung.
Reigeluth (1983 dalam Dageng, 1990) mengemukakan bahwa teori prespektif adalah goal oriented, sedangkan teori deskriptif adalah goal free. Maksudnya adalah teori pembelajaran prespektif dimaksudkan untuk mencapai tujuan, sedangkan teori pembelajaran deskriptif dimaksudkan untuk memberikan hasil. Itulah sebabnya variabel yang diamati dalam mengembangkan teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan. Sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yang deskriptif, variabel yang diamati adalah hasil belajar sebagai efek dari interaksi anatara metode dan kondisi.
Dengan kata lain, teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran dengan proses-proses psikologi dalam diri siswa, sedangkan teori belajar mengungkapkan hubungan antara fenomena yang ada dalam diri siswa.
Teori pembelajaran harus memasukkan variabel metode pembelajaran. Bila tidak, maka teori itu bukanlah teori pembelajaran. Hal ini penting, sebab banyak terjadi apa yang dianggap sebagai teori pembelajaran yang sebenarnya adalah teori belajar. Teori pembelajaran selalu menyebutkan metode pembelajaran, sedangkan teori belajar sama sekali tidak berurusan dengan metode pembelajaran.
Contoh dari teori belajar deskriptif : Jika membuat rangkuman tentang isi buku teks yang dibaca, maka retensi terhadap isi buku teks itu akan lebih baik.
Contoh teori belajar preskriptif : Agar dapat mengingat isi buku teks yang dibaca secara lebih baik, maka bacalah isi buku tersebut berulang-ulang dan buatlah rangkumannya.


B.     Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori belajar Behavioristik atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
 Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan lingkungan.
Teori Behavioristik ini dalam perkembangannya mendapat kritik dari para teoretisi dan praktisi pendidikan. Menurut para pengkritik, teori behavioristik ini tidak mampu menjelakan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak hal di dunia pendidikan yang tidak dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus respons. Tidak selalu stimulus mampu mempertahankan motivasi belajar seseorang. Kritik juga diarahkan pada kelemahan teori ini yang mengarahkan berpikir linier, konvergen dan kurang kreatif, termasuk masalah shaping (pembentukan) yang cenderung membatasi keleluasaan untuk berpikir dan berimajinasi.
Misalnya, seorang siswa mau belajar giat setelah diberi stimulus tertentu, tetapi karena satu hal dan lain hal ia tidak mau belajar lagi padahal kepadanya sudah diberikan stimulus yang sama atau lebih baik dari itu. Hal-hal semacam inilah yang dianggap tidak mampu dijelaskan, alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respons, atau mengganti stimulus dengan stimulus lain sampai kita mendapatkan respons yang diinginkan, belum tentu dapat menjawab pertanyaan yang sebenarnya.
Ciri-ciri teori belajar behavioristik :
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
b. Mementingkan bagian-bagian ( elementalistik )
c. Mementingkan peranan reaksi.
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar.
e. Mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu,
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan, dan
g. dalam pemecahan problem, ciri khasnya “trial and error”.

Ada beberapa kelemahan dari teori behavioristik, antara lain :
a.         Proses belajar itu dipandang dapat diamati secara langsung, padahal belajar merupakan proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
b.        Proses belajar itu dipandang bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-regulation (kemampuan mengatur diri sendiri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
c.         Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat amat mencoloknya perbedaan antara karakter fisik dan psikis manusia dengan karakter fisik dan psikis hewan.


Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri sekaligus penganut behavioristik antara lain adalah Pavlov, Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner.

*   Ivan Pavlov
Dalam tahun-tahun terakhir abad ke-19 dan tahun-tahun permulaan abad ke-20, Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam anjing. Pada saat seekor anjing diberi makanan dan lampu, keluarlah respons anjing itu berupa keluarnya air liur. Demikian juga jika dalam pemberian makanan tersebut disertai dengan bel, air liur anjing juga keluar. Setelah berkali-kali dilakukan perlakuan serupa, maka pada saat hanya bel atau lampu yang diberikan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan oleh Pavlov tersebut perangsang tak bersyarat (unconditioned stimulus), sementara bel atau lampu yang menyertainya disebut sebagai perangsang bersyarat (conditioned stimulus). Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat tersebut, anjing memberikan respons berupa keluarnya air liur (unconditioned response). Selanjutnya ketika perangsang bersyarat (bel/lampu) diberikan tanpa perangsang tak bersyarat (makanan), ternyata dapat menimbulkan respons yang sama yaitu keluarnya air liur (conditioned response). Karena itu teori Pavlov dikenal dengan responded-conditioning atau teori classical conditioning.
US ___________________ UR
CS1+ US1 ___________________ UR1
CS2+ US2 ___________________ UR2
CS3+ US3 ___________________ UR3
CS32+US32 ___________________ UR32
CSn ____________________ CRn
Keterangan :
1. US (unconditioned stimulus) : Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons) : respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, misalnya air liur anjing keluar karena anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus) : stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan respon, agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara terus menerus agar menimbulkan respon. Misalnya Bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons) : respons bersyarat, , yaitu respon yang muncul dengan hadirnya CS. Misalnya : air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.

*  Edwin Guthrie
Teori conditioning Pavlov kemudian dikembangkan oleh Guthrie. Ia berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dapat diubah, tingkah laku baik dapat diubah menjadi buruk dan sebaliknya, tingkah laku buruk dapat diubah menjadi baik. Teori Guthrie berdasarkan atas model penggantian stimulus satu ke stimulus lain. Menurut Guthrie stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis, karena hubungan antara stimulus dan respons cenderung bersifat sementara. Karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang sering, agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Suatu respons akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan bila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus dan respons. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respons. Asosiasi tersebut bisa jadi benar, namun dapat juga salah.
Guthrie termasuk mempercayai bahwa hukuman memegang peran penting dalam proses belajar, sebab jika diberikann pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan seseorang.

Tiga metode pengubahan tingkah laku yang ditemukannya adalah sebagai berikut :
a.    Metode respons bertentangan. Misalnya saja, jika anak takut terhadap sesuatu, misalnya kucing, maka letakkan permainan yang disukai anak dekat dengan kucing. Dengan mendekatkan kucing dengan permainan anak, lambat laun anak tidak akan takut lagi pada kucing, namun hal ini harus dilakukan berulang-ulang.
b.    Metode membosankan. Misalnya seorang anak mencoba-coba mengisap rokok, minta padanya untuk merokok terus sampai bosan. Setelah bosan, ia akan berhenti merokok dengan sendirinya.
c.    Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, ubahlah lingkungan belajarnya dengan suasana lain yang lebih nyaman dan menyenangkan sehingga membuat ia menjadi betah belajar.
*   John B. Watson
Teori conditioning ini lebih lanjut dikembangkan oleh Watson (1970). Setelah mengadakan serangkaian eksperimen, ia menyimpulkan, bahwa pengubahan tingkah laku dapat dilakukan melalui latihan / membiasakan mereaksi terhadap stimulus-stimulus yang diterima. Menurut Watson, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable).  Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Sebab menurut Watson, faktor-faktor yang tidak teramati tersebut tidak dapat menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Ia lebih memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Dengan hal yang dapat diamati, menurut Watson akan dapat meramalkan perubahan apa yang akan terjadi pada siswa, dan hanya dengan cara demikianlah, psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain, seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik.

*   E.L. Thorndike
Hasil studi Pavlov merangsang para peneliti di Amerika Serikat, seperti E.L.Thorndike (Hilgard and Bower, 1966). Thorndike melakukan eksperimen pada tahun 1890an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperolehh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Selain itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Apabila kita amati dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut Law of Effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek  yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.

Hukum pengaruh yang dikemukakan Thorndike tentang belajar adalah sebagai berikut :
a.    Hukum Kesiapan (Law of Readiness) : jika seseorang siap melakukan sesuatu, ketika ia melakukannya maka ia puas. Sebaliknya, bila ia tidak jadi melakukannya, maka ia tidak puas.
Contoh : siswa yang siap ujian, ketika dilakukan ujian, maka ia akan puas, tetapi jika ujiannya ditunda, ia menjadi tidak puas.
b.    Hukum Latihan (Law of Exercise) : jika respons terhadap stimulus diulang-ulang, maka akan memperkuat hubungan antara respons dengan stimulus. Sebaliknya, jika respons tidak digunakan, hubungan dengan stimulus semakin lemah.
Contoh : siswa yang belajar bahasa inggris, semakin sering digunakan bahas inggrisnya, maka akan semakin terampil dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa inggris. Tetapi jika tidak digunakan, maka ia tidak akan terampil berkomunikasi dengan bahasa inggris.
c.    Hukum Akibat (Law of Effect) : bila hubungan antara respons dan stimulus menimbulkan kepuasan, maka tingkatan penguatannya semakin besar. Sebaliknya, bila hubungan respons dan stimulus menimbulkan ketidakpuasan, maka tingkatan penguatan semakin lemah.
Contoh : siswa yang mendapat nilai tinggi akan semakin menyukai pelajaran, namun jika perolehan nilainya rendah, maka siswa akan semakin malas belajar atau malah mrnghindari pelajaran tersebut.


*      B. F. Skinner
Pavlov pada umumnya memusatkan pada perilaku yang disangkanya ditampilkan oleh stimulus-stimulus khusus. Akan tetapi, Skinner berpendapat bahwa perilaku-perilaku semacam itu mewakili hanya sebagian kecil dari semua perilaku. Ia menyarankan suatu kelas lain dari perilaku yang disebutnya perilaku operant sebab perilaku ini beroperasi terhadap lingkungan tanpa adanya stimulus-stimulus tak terkondisi apapun, seperti makanan misalnya. Studi Skinner terpusat pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai contoh misalnya, bila perilaku seseorang segera diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan, orang itu akan lebih sering terlibat dalam perilaku itu. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah perilaku disebut operant conditioning.
Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni : manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakkannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari ke sana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah yang disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan. Jelas sekali bahwa eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial and error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan.


Skinner juga mengemukakan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Dari hasil percobaannya, Skinner  membedakan respons menjadi dua yaitu : (1) respons yang timbul dari stimulus tertentu dan (2) “operant (instrumental) response”, yang timbul dan berkembang karena diikuti oleh perangsang tertentu.

Teori Skinner dikenal dengan “operant conditioning”, dengan enam konsepnya yaitu sebagai berikut :
a.         Penggunaan positif dan negatif.
b.        Shapping, proses pembentukan tingkah laku yang makin mendekati  tingkah laku yang diharapkan.
c.         Pendekatan suksesif, proses pembentukan tingkah laku yang menggunakan penguatan pada saat yang tepat, hingga respons pun sesuai dengan yang diisyaratkan.
d.        Extinction, proses penghentian kegiatan sebagai akibat dari ditiadakannya penguatan.
e.         Chaining of response, respons dan stimulus yang berangkaian satu sama lain.
f.         Jadwal penguatan, variasi pemberian penguatan : rasio tetap dan bervariasi, internal tetap dan bervariasi.

Skinner lebih percaya pada “penguatan negatif” (negatif reinforcemen), yang tidak sama dengan hukuman. Bedanya dengan hukuman adalah, bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar response yang timbul  berbeda dari yang diberikann sebelumnya, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respons yang sama menjadi kuat. Misalnya seorang siswa perlu dihukum untuk suatu kesalahan yang dibuatnya, jika ia masih bandel, maka hukuman harus ditambah. Tetapi bila siswa membuat kesalahan dan dilakukan pengurangan terhadap sesuatu yang mengenakkan baginya (bukan malah ditambah), maka pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya. Inilah yang disebut “penguat negatif”.






*   Clark Hull
Hull sangat terpengaruh oleh teori evolusinya Charles Darwin. Semua fungsi tingkah laku bermanfaat, terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Karena itu, kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Stimulus ala Hull selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, meskipun respons mungkin akan bermacam-macam bentuknya. Implikasi praktisnya adalah guru harus merencanakan kegiatan belajar berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap motivasi belajar yang terdapat pada siswa. Dengan adanya motivasi, maka belajar merupakan penguatan. Makin banyak belajar, makin banyak reinforcement, makin besar motivasi memberikan respons yang menuju keberhasilan belajar.


C.     Teori Belajar Kognitivistik
Teori ini lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajar. Bagi penganut aliran kognitivistik belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Menurut teori kognitivistik, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktikan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Para psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan keberhasilan mempelajari informassi / pengetahuan yang baru.

Ciri-ciri Aliran Kognitivistik :
a)      Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b)      Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c)      Mementingkn peranan kognitif
d)     Mementingkan kondisi waktu sekarang
e)      Mementingkan pembentukan struktur kognitif

Kelebihan dan kelemahan teori Kognitivistik
a.  Kelebihannya yaitu : menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.
b.  Kekurangannya yaitu : teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.

*      Robert M. Gagne
Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitif adalah teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Reseptor (alat indera) : menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian di teruskan.
b. Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) : yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang dalam system.
c. Short term memory ( memory jangka pendek ) : menampung hasil pengolahan perseptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.
d. Long Term memory (memori jangka panjang) : menampung hasil pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja.
e. Response generator (pencipta respon) : menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.


Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga diantaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik. Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kemampuan (Gagne, 1988). Menurut Gagne, ada lima kemampuan. Ditinjau dari segi-segi yang diharapkan dari suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan itu perlu dibedakan karena kemampuan itu memungkinkan berbagai macam penampilan manusia dan juga karena kondisi-kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan itu berbeda.
Kemampuan pertama disebut keterampilan intelektual  karena keterampilan itu merupakan penampilan yang ditunjukkan oleh siswa tentang operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Kemampuan kedua meliputi penggunaan strategi kognitif karena siswa perlu menunjukkan penampilan yang kompleks dalam suatu situasi baru, dimana diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan menerapkan aturan dan konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Nomor tiga berhubungan dengan sikap atau mungkin sekumpulan sikap yang dapat ditunjukkan oleh perilaku yang mencerminkan pilihan tindakan terhadap kegiatan-kegiatan sains. Nomor empat pada hasil belajar Gagne ialah informasi verbal, dan yang terakhir keterampilan motorik. Perlu dikemukakan bahwa menurut Gagne urutan antara kelima hasil belajar atau kemampuan ini tidak perlu dipermasalahkan.
1.        Keterampilan Intelektual
Keterampilan intilektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Belajar mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang dengan cara yang disarankan Gagne. Untuk memecahan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi, yaitu aturan-aturan yang komples. Demikian pula diperlukan aturan dan konsep yang terddefinisi. Untuk memperoleh aturan-aturan ini, siswa harus menguasai diskriminasi.

2.        Strategi Kognitif
Suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir disebut sebagai strategi kognitif. Dalam teori belajar modern, suatu strategi kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu proses internal yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir.
Berbagai macam strategi kognitif diantaranya strategi menghafal, strategi elaborasi, strategi pengaturan, strategi metakognitif, dan strategi afektif.


3.        Informasi Verbal
Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal. Pengetahuan verbal ini disimpan sebagai jaringan proposisi-proposisi. Informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah dan juga dari kata-kata yang di ucapkan orang, membaca dari radio, televisi, dan media lainnya.
4.        Sikap
Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap kita terhadap orang lain. Oleh karena itu, Gagne juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-sikap sosial ini.

5.        Keterampilan Motorik
Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis, memainkan sebuah instrumen musik, atau dalam pelajaran sains, menggunakan berbagai macam alat seperti mikroskop, burret, alat-alat listrik, dan sebagainya.

Bertitik tolak dari model belajarnya, yaitu model pemrosesan informasi, Gagne mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan belajar (learning act), diantaranya yaitu :
ü  Fase Motivasi
ü  Fase Pengenalan
ü  Fase Perolehan
ü  Fase Retensi
ü  Fase Pemanggilan
ü  Fase Generalisasi
ü  Fase Penampilan
ü  Fase Umpan Balik
Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru. Setiap fase dipasangkan oleh suatu proses yang terjadi dalam pikiran siswa.





*      Jean Piaget
Menurut Piaget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Sebagai contoh, seorang siswa yang sudah mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang suddah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi yang baru), inilah yang dimaksud dengan proses asimilasi. Jika siswa diberi soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, dalam hal ini berarti penerapan prinsip perkalian dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar siswa terus dapat berkembang dan menambah ilmunya, tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi, penyeimbangan antara dunia luar dan dunia dalam. Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam konteks ini, terdapat empat tahap, yaitu :
ü  Tahap sensomotorik (0-2 th)
ü  Tahap pra-operasional (2-7 th)
ü  Tahap operasional konkret (7-11 th)
ü  Tahap operasional formal (>11 th)
Proses belajar yang dialami anak berbeda pada tahap yang satu dengan tahap yang lainnya. Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Karena itu, guru seharusnya memahamitahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya, serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

*      David Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajaran sebelumnya didefinisikan dan kemudian dipresentaikam dengan baik dan tepat kepada siswa.
Inti teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Makna diciptakan melalui beberapa bentuk hubungan ekuivalen antara bahasa (simbol) dan konteks mental, yang melibatkan 2 proses, yaitu :
1) Resepsi, yang ditimbulkan melalui pembelajaran verbal yang bermakna.
2) Penemuan, yang terlibat dalam pembentukan konsep dan pemecahan masalah.
Karya-karya Ausubel sering dibandingkan dengan karya Bruner. Keduanya memiliki kemiripan pandangan tentang sifat hierarkis dari pengetahuan, tetapi Bruner lebih menekankan pada proses penemuan, sedangkan Ausubel lebih berfokus pada metode pembelajaran verbal dalam berbicara, membaca dan menulis. Ausubel juga berpendapat bahwa pembelajaran berdasarkan hafalan (rote learning) tidak banyak membantu siswa di dalam memperoleh pengetahuan, pembelajaran guru harus sedemikian rupa sehingga membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, pembelajaran haruslah bermakna (meaningfull learning) bagi siswa untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan.
Untuk menerapkan teori Ausebel dalam mengajar, ada beberapa proses dan prinsip yang perlu diperhatikan. Proses atau prinsip-prinsip itu ialah pengatur awal, diferensiasi progresif, penyesuaian integratif, dan belajar superordinat
1.        Pengatur Awal
Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. Suatu pengaturan awal dapat dianggap semacam pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru.

2.        Diferensiasi Progresif
Dengan menggunakan strategi ini, guru mengajarkan konsep-konsep yang paling inklusif dahulu, kemudian konsep-konsep yang kurang inklusif, dan setelah itu baru mengajarkan hal-hal yang khusus, seperti contoh-contoh setiap konsep. Proses penyusunan konsep semacam ini disebut diferensiasi progresif dan merupakan salah satu dari sekian banayk macam urutan belajar, ddikatakan juga bahwa konsep-konsep itu disusun secara hierarki.

3.        Penyesuaian Integratif
Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran hendaknya disusun demikian rupa hingga kita menggerakkan hierarki-hierarki konseptual “ke atas dan ke bawah” selama informasi disajikan. Kita ddapat mulai dengan konsep-konsep paling umum, tetapi kita perlu memperlihatkan bagaimana terkaitnya konsep-konsep subordinat, kemudian bergerak kembali melalui contoh-contoh ke arti-arti baru bagi konsep yang tingkatnya paling tinggi.
4.        Belajar Superordinat
Belajar superordinat terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.

*      Jerome Bruner
Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery learning. Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebaginya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum.
Misalnya, untuk pertama kali memahami konsep “kedisiplinan”, siswa tidak harus menghafal definisi kata tersebut, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang perilaku yang menunjukkan kedisiplinan dan yang tidak, dari cintoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kedisiplinan.
Tiga tahap perkembangan kognitif anak
- Enaktif (0 – 3 tahun),
- Ikonik (3-8 tahun),
- Simbolik (>8 tahun)
Kebalikan dari pendekatan ini desebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Siswa diberikan suatu informasi umum dan diminta untuk mencari contoh-contoh khusus dan konkret yang dapat menggambarkan makna dari informasi tersebut, proses belajar ini berjalan secara deduktif.

Keuntungan belajar menemukan adalah sebagai berikut :
a.         Menimbulkan rasa ingin tahu siswa, dapat memotivasi untuk menemukan jawaban-jawaban.
b.        Menimbulkan keterampilan memecahkan masalah secara mandiri dan mengharuskan siswa untuk menganalisa dan memanipulasi informasi.



D.  Teori Belajar Humanistik
Bagi penganut teori humanistik, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia. Dari teori belajar yang ada, teori inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Teori ini bersifat eklektik, artinya teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri) dapat tercapai.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar.
Terhadap teori humanistik ini, terdapat sejumlah kritik yang diajukan. Kritik tersebut antara lain karena sifatnya yang terlalu deskriptif dan sulit diterjemahkan dalam langkah-langkah yang praktis dan konkret. Namun, karena sifatnya yang deskriptif, teori ini cenderung memberi arah proses belajar. Tujuan pendidikan seharusnya bersifat ideal, dan teori humanistik inilah yang menjelaskan bagimana tujuan ideal itu seharusnya. Teori humanistik ini akan sangat membantu kita memahami proses belajar serta melakukan proses belajar itu dalam dimensi yang lebih luas, jika kita mampu menempatkannya pada konteks yang tepat. Pada gilirannya, akan membantu kita menentukan strategi belajar yang tepat secara lebih sadar dan terarah, tidak semata-mata tergantung pada intuisi.
Pakar lain yang termasuk ilmuwan kubu humanistik adalah Bloom dan Krathwohl, Kolb, Honey, Mumford, Hubermas, Carl Rogers dan Abraham Maslow.





*      Bloom dan Krathwohl
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa tercakup dalam tiga kawasan, yaitu kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor. Taksonomi Bloom telah berhasil memberi inspirai kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran.
Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom adalah sebagai berikut :
1.    Domain koognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
a.       Pengetahuan (mengingat, menghafal)
b.      Pemahaman (menginterprestasikan)
c.       Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
d.      Analisis (menjabarkan suatu konsep)
e.       Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh
f.       Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.

2.    Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
a.    Peniruan (menirukan gerak)
b.    Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
c.    Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
d.   Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e.    Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
3.        Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
a.       Pengalaman (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
b.       Merespon (aktif berprtisipasi)
c.       Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu)
d.      Pengorganisasan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
e.       Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)






*      Kolb
Kolb membagi tahapan belajar dalam empat tahap, yaitu :
a.         Pengalaman konkret : pada tahap dini, seorang siswa hanya mampu sekadar ikut mengalami suatu kejadian, ia belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjaddi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap awal proses belajar.
b.        Pengamatan aktif dan reflektif : siswa lambat laun mampu mengadakan pengamatan aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c.         Konseptualisasi : siswa mulai belajar membuat abstraksi atau “teori” tentang hal yang pernah diamatinya. Pada tahapan ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
d.        Eksperimentasi aktif : pada tahap ini siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru.
Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambunngan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Meskipun dalam teorinya dapat dibuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun seringkali terjadi begitu saja, sulit ditentukan kapan beralihnya.

*      Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford menggolongkan siswa atas empat tipe, yaitu sebagai berikut :

a.        Kelompok aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah diajak berdialog, memiliki pikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan suatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem solving, barin storming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.

b.    Kelompok reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu memperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
c.  Kelompok teoritis
 Lain halnya dengan orang-orang tipe teoritis, mereka memiliki kecenderugan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu lebih baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
*      Habermas
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu belajar teknis (technical learning), belajar praktis (practical learning), dan belajar emansipatoris (emancypatory learning). 


Masing-masing tipe memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Belajar teknis (technica learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat beinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sains amat dipentingkan dalam belajar teknis.

b.  Belajar praktis (practical learning)
Belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi, dan semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka percaya bahwa pemahaman dan keterampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.

c. Belajar emansipatoris (emancypatory learning)
Belajar emansipatoris menekanan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau informasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap trasformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan paling tinggi.

*      Carl Rogers
Carl Rogers mengemukakan bahwa siswa yang belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas, siswa diharapkan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya sendiri. Dalam konteks tersebut, Rogers mengemukakan lima hal penting dalam proses belajar humanistik, yaitu sebagai berikut :
a.         Hasrat untuk belajar : Hasrat untuk belajar disebabkan adanya hasrat ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia sekelilingnya. Dalam proses mencari jawabnya, seseorang mengalami aktivitas-aktivitas belajar.
b.        Belajar bermakna : Seseorang yang beraktivitas akan selalu menimbang-nimbang apakah aktivitas tersebut mempunyai makna bagi dirinya. Jika tidak, tentu tidak akan dilakukannya.
c.         Belajar tanpa hukuman : Belajar yang terbebas dari ancaman hukuman mengakibatkan anak bebas melakukan apa saja, mengadakan eksperimentasi hingga menemukan sesndiri sesuatu yang baru.
d.        Belajar dengan inisiatif sendiri : Menyiratkan tingginya motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak berinisiatif, mampu mengarahkan dirinya sendiri serta berusaha menimbang sendiri hal yang baik bagi dirinya.
e.         Belajar dan perubahan : dunia terus berubah, karena itu siswa harus belajar untuk dapat menghadapi kondisi dan situasi yang terus berubah. Dengan demikian belajar yang hanya sekadar mengingat fakta atau menghafal sesuatu dipandang tak cukup.

*      Arthur Combs
Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.




*      Abraham Maslow
Teori Maslow yang sangat terkenal adalah teori kebutuhan. Kebutuhan pada diri manusia selalu menuntut pemenuhan, dimulai dari tahapan yang paling dasar secara hierarkis menuju kepada kebutuhan yang paling tinggi. Tahapan-tahapan kebutuhan tersebut dalah sebagai berikut :
a.         Psysiological needs : kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan akan makan dan minum, pakaian dan tempat tinggal, termasuk juga kebutuhan biologis. Disebut sebagai kebutuhan paling dasar karena dibutuhkan semua makhluk hidup, termasuk manusia.
b.        Safety/security needs : kebutuhan akan rasa aman secara fisik dan psikis. Aman secara fisik, seperti terhindar dari gangguan kriminalitas, teroris, binatang buas, orang lain, tempat yang tidak aman dan sebagainya. Aman secara psikis, misalnya tidak kena marah, tidak diejek, tidak direndahkan, tidak dimutasikan dengan tidak jelas, dan sebagainya.
c.         Social needs : kebutuhan sosial dibutuhkan manusia agar ia dianggap sebagai warga komunitas sosialnya. Bagi siswa agar dapat belajar dengan baik, ia harus merasa diterima dengan baik oleh teman-temannya.
d.        Esteem needs : kebutuhan ego termasuk keinginan untuk berprestasi dan memiliki prestise. Seseorang membutuhkan kepercayaan dan tanggung jawab dari orang lain. Dalam pembelajaran, dengan diberikan tugas-tugas yang menantang, maka siswa akan terpenuhi kebutuhan egonya.
e.         Self-actualization needs : kebutuhan aktualisasi adalah kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukkan dirinya kepada orang lain. Pada tahap ini seseorang mengembangkan semaksimal mungkin potensi yang dimilikinya. Untuk dapat mengaktualisasikan dirinya, siswa perlu suasana dan lingkungan yang kondusif.








E.  Teori Belajar Konstruktivistik
Belajar menurut  konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.

Kelebihan dan Kelemahan Teori Konstrutivistik
Ø  Kelebihan
1.    Berfikir alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2.    Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3.    Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4.    Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5.    Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
Ø  Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.

Implikasi Teori Konstruktivistik di Kelas
      Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di kelas.
1.    Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2.    Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
3.    Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
4.    Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
5.    Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6.     Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Reigeluth mengemukakan bahwa, teori prespektif adalah goal oriented, sedangkan teori deskriptif adalah goal free. Maksudnya adalah teori pembelajaran prespektif dimaksudkan untuk mencapai tujuan, sedangkan teori pembelajaran deskriptif dimaksudkan untuk memberikan hasil.
Menurut teori belajar bahavioristik atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor yang diberikan lingkungan. Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri sekaligus penganut behavioristik, antara lain adalah Thorndike, Watson, hull, Guthrie, dan Skinner.
Menurut teori belajar kognitif, belajar tidak sedakar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu, belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya sangat menentukan hasil belajar. Termasuk ilmuwan dengan kategori kognitif adalah Gagne, Piaget, Ausubel, Brunner.
Bagi penganut teori humanistik, proses belajar dilakukan dengan memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada individu. Si belajar diharapkan dapat mengambil keputusannya sendiri dan bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang dipilihnya. Termasuk ilmuwan dengan kategori teori humanistik adalah Bloom dan Krathwohl, Kolb, Honey, Mumford, Habermas, Abraham Maslow, dan carl Rogers.
Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui dan tidak dapat dipisahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) kepada orang lain (siswa).

DAFTAR PUSTAKA

Wilis, Ratna. 2006. “Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran”. Bandung : Erlangga.

Nara, Hartini. 2010. “Teori Belajar dan Pembelajaran”. Bogor : Ghalia Indonesia.

Syah, Muhibbin. 2003. “Psikologi Belajar”. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Hamid, Abdul. 2009. “Teori Belajar dan Pembelajaran”. Medan.