BAB II
TEORI-TEORI BELAJAR DAN PENERAPANNYA
A.
Pengertian Teori Deskriptif dan Prespektif
Untuk membedakan
antara teori pembelajaran dengan teori belajar bisa dibedakan dengan cara
melihat dari posisional teorinya, apakah berada pada tataran teori deskriptif
atau prespektif. Bruner (dalam Dageng,1989) mengemukakan bahwa teori
pembelajaran adalah prespektif dan teori belajar adalah deskriptif. Presfektif
karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran
yang optimal, sedangkan deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah
menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan
diantara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar. Sedangkan teori
pembelajaran sebaliknya, teori ini menaruh perhatian pada bagaimana seseorang
mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Dengan kata lain, teori pembelajaran
berurusan dengan upaya mengontrol variabel-variabel yang dispesifikasi dalam
teori belajar agar dapat memudahkan belajar (C. Asri Budiningsih, 2004).
Asri Budiningsih
(2004) dalam buku Belajar dan Pembelajaran menjelaskan bahwa upaya dari Bruner
untuk membedakan antara teori belajar yang deskriptif dan teori pembelajaran
yang perspektif dikembangkan lebih lanjut oleh Reigeluth dan kawan-kawan,
menyatakan bahwa Principles and theories
of instructional design may be stated in either a deskriptif or prescriptive
form. Teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang deskriptif menempatkan
variabel kondisi dan metode pembelajaran sebagai givens, dan menempatkan hasil
pembelajaran sebagai variabel yang diamati. Dengan kata lain, kondisi dan
metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai
variabel tergantung.
Reigeluth (1983
dalam Dageng, 1990) mengemukakan bahwa teori prespektif adalah goal oriented, sedangkan teori
deskriptif adalah goal free.
Maksudnya adalah teori pembelajaran prespektif dimaksudkan untuk mencapai
tujuan, sedangkan teori pembelajaran deskriptif dimaksudkan untuk memberikan
hasil. Itulah sebabnya variabel yang diamati dalam mengembangkan teori-teori
pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan.
Sedangkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yang deskriptif, variabel
yang diamati adalah hasil belajar sebagai efek dari interaksi anatara metode
dan kondisi.
Dengan kata
lain, teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran
dengan proses-proses psikologi dalam diri siswa, sedangkan teori belajar
mengungkapkan hubungan antara fenomena yang ada dalam diri siswa.
Teori
pembelajaran harus memasukkan variabel metode pembelajaran. Bila tidak, maka
teori itu bukanlah teori pembelajaran. Hal ini penting, sebab banyak terjadi
apa yang dianggap sebagai teori pembelajaran yang sebenarnya adalah teori
belajar. Teori pembelajaran selalu menyebutkan metode pembelajaran, sedangkan
teori belajar sama sekali tidak berurusan dengan metode pembelajaran.
Contoh dari
teori belajar deskriptif : Jika membuat rangkuman tentang isi buku teks yang
dibaca, maka retensi terhadap isi buku teks itu akan lebih baik.
Contoh teori
belajar preskriptif : Agar dapat mengingat isi buku teks yang dibaca secara
lebih baik, maka bacalah isi buku tersebut berulang-ulang dan buatlah
rangkumannya.
B.
Teori Belajar Behavioristik
Menurut
teori belajar Behavioristik atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai
proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respons. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar
(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Belajar menurut psikologi behavioristik adalah
suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya
seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan lingkungan.
Teori
Behavioristik ini dalam perkembangannya mendapat kritik dari para teoretisi dan
praktisi pendidikan. Menurut para pengkritik, teori behavioristik ini tidak
mampu menjelakan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak hal di dunia
pendidikan yang tidak dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus respons.
Tidak selalu stimulus mampu mempertahankan motivasi belajar seseorang. Kritik
juga diarahkan pada kelemahan teori ini yang mengarahkan berpikir linier,
konvergen dan kurang kreatif, termasuk masalah shaping (pembentukan) yang cenderung membatasi keleluasaan untuk
berpikir dan berimajinasi.
Misalnya,
seorang siswa mau belajar giat setelah diberi stimulus tertentu, tetapi karena
satu hal dan lain hal ia tidak mau belajar lagi padahal kepadanya sudah
diberikan stimulus yang sama atau lebih baik dari itu. Hal-hal semacam inilah
yang dianggap tidak mampu dijelaskan, alasan-alasan yang mengacaukan hubungan
antara stimulus dan respons, atau mengganti stimulus dengan stimulus lain
sampai kita mendapatkan respons yang diinginkan, belum tentu dapat menjawab
pertanyaan yang sebenarnya.
Ciri-ciri
teori belajar behavioristik :
a.
Mementingkan pengaruh lingkungan
b.
Mementingkan bagian-bagian ( elementalistik )
c.
Mementingkan peranan reaksi.
d.
Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar.
e.
Mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu,
f.
Mementingkan pembentukan kebiasaan, dan
g.
dalam pemecahan problem, ciri khasnya “trial and error”.
Ada beberapa
kelemahan dari teori behavioristik, antara lain :
a.
Proses belajar itu dipandang dapat
diamati secara langsung, padahal belajar merupakan proses kegiatan mental yang
tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
b.
Proses belajar itu dipandang bersifat
otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal
setiap siswa memiliki self-regulation
(kemampuan mengatur diri sendiri) dan self control (pengendalian diri) yang
bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak
menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
c.
Proses belajar manusia yang dianalogikan
dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat amat mencoloknya
perbedaan antara karakter fisik dan psikis manusia dengan karakter fisik dan
psikis hewan.
Beberapa ilmuwan
yang termasuk pendiri sekaligus penganut behavioristik antara lain adalah
Pavlov, Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner.
Ivan Pavlov
Dalam
tahun-tahun terakhir abad ke-19 dan tahun-tahun permulaan abad ke-20, Pavlov
dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam anjing. Pada saat seekor
anjing diberi makanan dan lampu, keluarlah respons anjing itu berupa keluarnya
air liur. Demikian juga jika dalam pemberian makanan tersebut disertai dengan
bel, air liur anjing juga keluar. Setelah berkali-kali dilakukan perlakuan
serupa, maka pada saat hanya bel atau lampu yang diberikan, anjing tersebut
juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan oleh Pavlov tersebut
perangsang tak bersyarat (unconditioned
stimulus), sementara bel atau lampu yang menyertainya disebut sebagai
perangsang bersyarat (conditioned
stimulus). Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan
perangsang bersyarat tersebut, anjing memberikan respons berupa keluarnya air
liur (unconditioned response).
Selanjutnya ketika perangsang bersyarat (bel/lampu) diberikan tanpa perangsang tak
bersyarat (makanan), ternyata dapat menimbulkan respons yang sama yaitu
keluarnya air liur (conditioned response).
Karena itu teori Pavlov dikenal dengan responded-conditioning atau teori classical conditioning.
US
___________________ UR
CS1+
US1 ___________________ UR1
CS2+
US2 ___________________ UR2
CS3+
US3 ___________________ UR3
CS32+US32
___________________ UR32
CSn
____________________ CRn
Keterangan
:
1. US (unconditioned stimulus) :
Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon,
misalnya daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons) : respon
tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, misalnya air liur
anjing keluar karena anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus) : stimulus
bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan respon, agar
dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara terus menerus agar
menimbulkan respon. Misalnya Bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air
liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons) : respons
bersyarat, , yaitu respon yang muncul dengan hadirnya CS. Misalnya : air liur
anjing keluar karena anjing mendengar bel.
Edwin Guthrie
Teori conditioning Pavlov kemudian
dikembangkan oleh Guthrie. Ia berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dapat
diubah, tingkah laku baik dapat diubah menjadi buruk dan sebaliknya, tingkah
laku buruk dapat diubah menjadi baik. Teori Guthrie berdasarkan atas model
penggantian stimulus satu ke stimulus lain. Menurut Guthrie stimulus tidak
harus berbentuk kebutuhan biologis, karena hubungan antara stimulus dan respons
cenderung bersifat sementara. Karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang
sering, agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Suatu respons akan lebih kuat
dan menjadi kebiasaan bila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam
stimulus. Setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus dan
respons. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak
respons. Asosiasi tersebut bisa jadi benar, namun dapat juga salah.
Guthrie termasuk
mempercayai bahwa hukuman memegang peran penting dalam proses belajar, sebab
jika diberikann pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan seseorang.
Tiga metode
pengubahan tingkah laku yang ditemukannya adalah sebagai berikut :
a. Metode
respons bertentangan. Misalnya saja, jika anak takut terhadap sesuatu, misalnya
kucing, maka letakkan permainan yang disukai anak dekat dengan kucing. Dengan
mendekatkan kucing dengan permainan anak, lambat laun anak tidak akan takut
lagi pada kucing, namun hal ini harus dilakukan berulang-ulang.
b. Metode
membosankan. Misalnya seorang anak mencoba-coba mengisap rokok, minta padanya
untuk merokok terus sampai bosan. Setelah bosan, ia akan berhenti merokok
dengan sendirinya.
c. Metode
mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, ubahlah lingkungan belajarnya
dengan suasana lain yang lebih nyaman dan menyenangkan sehingga membuat ia
menjadi betah belajar.
John B. Watson
Teori
conditioning ini lebih lanjut dikembangkan oleh Watson (1970). Setelah
mengadakan serangkaian eksperimen, ia menyimpulkan, bahwa pengubahan tingkah
laku dapat dilakukan melalui latihan / membiasakan mereaksi terhadap
stimulus-stimulus yang diterima. Menurut Watson, stimulus dan respons tersebut
harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Watson
mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan
menganggapnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Sebab menurut Watson,
faktor-faktor yang tidak teramati tersebut tidak dapat menjelaskan apakah
proses belajar sudah terjadi atau belum. Ia lebih memilih untuk tidak memikirkan
hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun tetap mengakui bahwa semua hal itu
penting. Dengan hal yang dapat diamati, menurut Watson akan dapat meramalkan
perubahan apa yang akan terjadi pada siswa, dan hanya dengan cara demikianlah,
psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain,
seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik.
E.L. Thorndike
Hasil studi
Pavlov merangsang para peneliti di Amerika Serikat, seperti E.L.Thorndike
(Hilgard and Bower, 1966). Thorndike melakukan eksperimen pada tahun 1890an.
Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk
mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing
yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi
dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang
tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan dalam
sangkar yang disebut puzzle box (peti
teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi
melepaskan diri dan memperolehh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing
tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka
pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana,
secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu
sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box
ini kemudian terkenal dengan nama instrumental
conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental
(penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan
eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan
antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Selain
itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya
waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.
Apabila kita
amati dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal
pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang
lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk
keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak
akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini,
hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang
sangat vital dalam belajar.
Kedua,
tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efek
positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar
timbulnya hukum belajar yang disebut Law of Effect. Artinya, jika sebuah
respons menghasilkan efek yang
memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan (menggangu) efek yang dicapai respons, semakin lemah
pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
Hukum pengaruh
yang dikemukakan Thorndike tentang belajar adalah sebagai berikut :
a. Hukum
Kesiapan (Law of Readiness) : jika
seseorang siap melakukan sesuatu, ketika ia melakukannya maka ia puas.
Sebaliknya, bila ia tidak jadi melakukannya, maka ia tidak puas.
Contoh : siswa yang
siap ujian, ketika dilakukan ujian, maka ia akan puas, tetapi jika ujiannya
ditunda, ia menjadi tidak puas.
b. Hukum
Latihan (Law of Exercise) : jika
respons terhadap stimulus diulang-ulang, maka akan memperkuat hubungan antara
respons dengan stimulus. Sebaliknya, jika respons tidak digunakan, hubungan
dengan stimulus semakin lemah.
Contoh : siswa yang
belajar bahasa inggris, semakin sering digunakan bahas inggrisnya, maka akan
semakin terampil dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa inggris. Tetapi
jika tidak digunakan, maka ia tidak akan terampil berkomunikasi dengan bahasa
inggris.
c. Hukum
Akibat (Law of Effect) : bila
hubungan antara respons dan stimulus menimbulkan kepuasan, maka tingkatan
penguatannya semakin besar. Sebaliknya, bila hubungan respons dan stimulus
menimbulkan ketidakpuasan, maka tingkatan penguatan semakin lemah.
Contoh : siswa yang
mendapat nilai tinggi akan semakin menyukai pelajaran, namun jika perolehan
nilainya rendah, maka siswa akan semakin malas belajar atau malah mrnghindari
pelajaran tersebut.
B. F. Skinner
Pavlov pada
umumnya memusatkan pada perilaku yang disangkanya ditampilkan oleh
stimulus-stimulus khusus. Akan tetapi, Skinner berpendapat bahwa
perilaku-perilaku semacam itu mewakili hanya sebagian kecil dari semua
perilaku. Ia menyarankan suatu kelas lain dari perilaku yang disebutnya
perilaku operant sebab perilaku ini
beroperasi terhadap lingkungan tanpa adanya stimulus-stimulus tak terkondisi
apapun, seperti makanan misalnya. Studi Skinner terpusat pada hubungan antara
perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai contoh misalnya, bila perilaku
seseorang segera diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan, orang
itu akan lebih sering terlibat dalam perilaku itu. Penggunaan
konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah
perilaku disebut operant conditioning.
Dalam salah satu
eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah
peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri
atas dua macam komponen pokok, yakni : manipulandum
dan alat pemberi reinforcement yang
antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum
adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakkannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas
tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Dalam eksperimen
tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari ke sana
kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan
sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang
terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa mempedulikan
stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu
emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong)
dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya
butir-butir makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir
makanan yang muncul itu merupakan reinforcer
bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah yang disebut tingkah
laku operant yang akan terus meningkat
apabila diiringi dengan reinforcement,
yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial and
error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah
laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan, sedangkan menurut Skinner fenomena tersebut
melibatkan reinforcement/penguatan.
Skinner juga
mengemukakan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk
menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah
rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Dari hasil
percobaannya, Skinner membedakan respons
menjadi dua yaitu : (1) respons yang timbul dari stimulus tertentu dan (2) “operant (instrumental) response”, yang
timbul dan berkembang karena diikuti oleh perangsang tertentu.
Teori Skinner
dikenal dengan “operant conditioning”, dengan enam konsepnya yaitu sebagai
berikut :
a.
Penggunaan positif dan negatif.
b.
Shapping,
proses pembentukan tingkah laku yang makin mendekati tingkah laku yang diharapkan.
c.
Pendekatan suksesif, proses pembentukan
tingkah laku yang menggunakan penguatan pada saat yang tepat, hingga respons
pun sesuai dengan yang diisyaratkan.
d.
Extinction,
proses penghentian kegiatan sebagai akibat dari ditiadakannya penguatan.
e.
Chaining
of response, respons dan stimulus yang berangkaian satu sama lain.
f.
Jadwal penguatan, variasi pemberian
penguatan : rasio tetap dan bervariasi, internal tetap dan bervariasi.
Skinner lebih
percaya pada “penguatan negatif” (negatif reinforcemen), yang tidak sama dengan
hukuman. Bedanya dengan hukuman adalah, bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar response yang timbul
berbeda dari yang diberikann sebelumnya, sedangkan penguat negatif
(sebagai stimulus) harus dikurangi agar respons yang sama menjadi kuat.
Misalnya seorang siswa perlu dihukum untuk suatu kesalahan yang dibuatnya, jika
ia masih bandel, maka hukuman harus ditambah. Tetapi bila siswa membuat kesalahan
dan dilakukan pengurangan terhadap sesuatu yang mengenakkan baginya (bukan
malah ditambah), maka pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya. Inilah yang disebut “penguat negatif”.
Clark Hull
Hull sangat
terpengaruh oleh teori evolusinya Charles Darwin. Semua fungsi tingkah laku
bermanfaat, terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Karena itu, kebutuhan
biologis menempati posisi sentral. Stimulus ala Hull selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, meskipun respons mungkin akan bermacam-macam bentuknya.
Implikasi praktisnya adalah guru harus merencanakan kegiatan belajar
berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap motivasi belajar yang terdapat
pada siswa. Dengan adanya motivasi, maka belajar merupakan penguatan. Makin
banyak belajar, makin banyak reinforcement,
makin besar motivasi memberikan respons yang menuju keberhasilan belajar.
C.
Teori Belajar Kognitivistik
Teori
ini lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajar. Bagi penganut
aliran kognitivistik belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus
dan respons. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks. Menurut teori kognitivistik, ilmu pengetahuan dibangun dalam
diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan
lingkungan.
Menurut
psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti
sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat
berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati
lingkungan, mempraktikan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Para
psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya
sangat menentukan keberhasilan mempelajari informassi / pengetahuan yang baru.
Ciri-ciri Aliran Kognitivistik :
a)
Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b)
Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c)
Mementingkn peranan kognitif
d) Mementingkan kondisi
waktu sekarang
e)
Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Kelebihan dan kelemahan
teori Kognitivistik
a.
Kelebihannya yaitu : menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa
memahami bahan belajar secara lebih mudah.
b.
Kekurangannya yaitu : teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di
praktikkan khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi
sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
Robert M. Gagne
Salah satu teori yang berasal dari psikolog
kognitif adalah teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M.
Gagne. Menurut teori ini belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi
dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Reseptor
(alat indera) : menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya menjadi
rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya dan kemudian
di teruskan.
b. Sensory register (penempungan kesan-kesan
sensoris) : yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris
dan mengadakan seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi
yang masuk sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang
dalam system.
c. Short term memory ( memory jangka pendek ) :
menampung hasil pengolahan perseptual dan menyimpannya. Informasi tertentu
disimpan untuk menentukan maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan
informasi memori kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga
pendek. Informasi dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode
dan selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.
d. Long Term memory (memori jangka panjang) :
menampung hasil pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang
disimpan dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan
saja.
e. Response generator (pencipta respon) :
menampung informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya
menjadi reaksi jawaban.
Gagne
mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga diantaranya bersifat kognitif, satu
bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik. Penampilan-penampilan
yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kemampuan (Gagne, 1988).
Menurut Gagne, ada lima kemampuan. Ditinjau dari segi-segi yang diharapkan dari
suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan itu perlu dibedakan karena kemampuan
itu memungkinkan berbagai macam penampilan manusia dan juga karena
kondisi-kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan itu berbeda.
Kemampuan
pertama disebut keterampilan intelektual karena keterampilan itu merupakan penampilan
yang ditunjukkan oleh siswa tentang operasi intelektual yang dapat
dilakukannya. Kemampuan kedua meliputi penggunaan strategi kognitif karena siswa perlu menunjukkan penampilan yang
kompleks dalam suatu situasi baru, dimana diberikan sedikit bimbingan dalam
memilih dan menerapkan aturan dan konsep yang telah dipelajari sebelumnya.
Nomor tiga berhubungan dengan sikap
atau mungkin sekumpulan sikap yang dapat ditunjukkan oleh perilaku yang
mencerminkan pilihan tindakan terhadap kegiatan-kegiatan sains. Nomor empat
pada hasil belajar Gagne ialah informasi
verbal, dan yang terakhir keterampilan
motorik. Perlu dikemukakan bahwa menurut Gagne urutan antara kelima hasil
belajar atau kemampuan ini tidak perlu dipermasalahkan.
1.
Keterampilan Intelektual
Keterampilan
intilektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan
penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Belajar mempengaruhi
perkembangan intelektual seseorang dengan cara yang disarankan Gagne. Untuk
memecahan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi, yaitu
aturan-aturan yang komples. Demikian pula diperlukan aturan dan konsep yang
terddefinisi. Untuk memperoleh aturan-aturan ini, siswa harus menguasai
diskriminasi.
2.
Strategi Kognitif
Suatu macam
keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi
belajar dan berpikir disebut sebagai strategi kognitif. Dalam teori belajar
modern, suatu strategi kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu
proses internal yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara
memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir.
Berbagai macam
strategi kognitif diantaranya strategi menghafal, strategi elaborasi, strategi
pengaturan, strategi metakognitif, dan strategi afektif.
3.
Informasi Verbal
Informasi
verbal juga disebut pengetahuan verbal. Pengetahuan verbal ini disimpan sebagai
jaringan proposisi-proposisi. Informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar
di sekolah dan juga dari kata-kata yang di ucapkan orang, membaca dari radio,
televisi, dan media lainnya.
4.
Sikap
Sikap merupakan
pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap
benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang
penting ialah sikap kita terhadap orang lain. Oleh karena itu, Gagne juga
memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-sikap sosial ini.
5.
Keterampilan Motorik
Keterampilan
motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan motorik
yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis,
memainkan sebuah instrumen musik, atau dalam pelajaran sains, menggunakan
berbagai macam alat seperti mikroskop, burret, alat-alat listrik, dan
sebagainya.
Bertitik tolak
dari model belajarnya, yaitu model pemrosesan informasi, Gagne mengemukakan
delapan fase dalam satu tindakan belajar (learning act), diantaranya yaitu :
ü Fase
Motivasi
ü Fase
Pengenalan
ü Fase
Perolehan
ü Fase
Retensi
ü Fase
Pemanggilan
ü Fase
Generalisasi
ü Fase
Penampilan
ü Fase
Umpan Balik
Fase-fase itu merupakan
kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru.
Setiap fase dipasangkan oleh suatu proses yang terjadi dalam pikiran siswa.
Jean Piaget
Menurut Piaget, proses belajar sebenarnya terdiri dari
tiga tahapan, yakni asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah
proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada.
Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang
baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian kesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi.
Sebagai contoh, seorang siswa yang sudah mengetahui
prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian,
maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang suddah
ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi yang baru),
inilah yang dimaksud dengan proses asimilasi. Jika siswa diberi soal perkalian,
maka situasi ini disebut akomodasi, dalam hal ini berarti penerapan prinsip
perkalian dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar siswa terus dapat
berkembang dan menambah ilmunya, tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental
dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut
equilibrasi, penyeimbangan antara dunia luar dan dunia dalam. Tanpa proses ini
perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam konteks ini,
terdapat empat tahap, yaitu :
ü Tahap sensomotorik (0-2 th)
ü Tahap pra-operasional (2-7 th)
ü Tahap operasional konkret (7-11 th)
ü Tahap operasional formal (>11 th)
Proses
belajar yang dialami anak berbeda pada tahap yang satu dengan tahap yang
lainnya. Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin
teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Karena itu, guru seharusnya
memahamitahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya, serta memberikan isi,
metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
David Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika isi
pelajaran sebelumnya didefinisikan dan kemudian dipresentaikam dengan baik dan
tepat kepada siswa.
Inti teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar
bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep
yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Makna diciptakan melalui beberapa bentuk hubungan
ekuivalen antara bahasa (simbol) dan konteks mental, yang melibatkan 2 proses,
yaitu :
1) Resepsi, yang ditimbulkan melalui pembelajaran verbal yang
bermakna.
2) Penemuan, yang terlibat dalam pembentukan konsep dan
pemecahan masalah.
Karya-karya Ausubel sering dibandingkan dengan karya Bruner. Keduanya memiliki kemiripan pandangan tentang sifat hierarkis dari pengetahuan, tetapi Bruner lebih menekankan pada proses penemuan, sedangkan Ausubel lebih berfokus pada metode pembelajaran verbal dalam berbicara, membaca dan menulis. Ausubel juga berpendapat bahwa pembelajaran berdasarkan hafalan (rote learning) tidak banyak membantu siswa di dalam memperoleh pengetahuan, pembelajaran guru harus sedemikian rupa sehingga membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, pembelajaran haruslah bermakna (meaningfull learning) bagi siswa untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan.
Karya-karya Ausubel sering dibandingkan dengan karya Bruner. Keduanya memiliki kemiripan pandangan tentang sifat hierarkis dari pengetahuan, tetapi Bruner lebih menekankan pada proses penemuan, sedangkan Ausubel lebih berfokus pada metode pembelajaran verbal dalam berbicara, membaca dan menulis. Ausubel juga berpendapat bahwa pembelajaran berdasarkan hafalan (rote learning) tidak banyak membantu siswa di dalam memperoleh pengetahuan, pembelajaran guru harus sedemikian rupa sehingga membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, pembelajaran haruslah bermakna (meaningfull learning) bagi siswa untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan.
Untuk menerapkan teori Ausebel dalam mengajar, ada
beberapa proses dan prinsip yang perlu diperhatikan. Proses atau
prinsip-prinsip itu ialah pengatur awal, diferensiasi progresif, penyesuaian
integratif, dan belajar superordinat
1.
Pengatur
Awal
Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan
mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang
berhubungan yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru.
Suatu pengaturan awal dapat dianggap semacam pertolongan mental dan disajikan
sebelum materi baru.
2.
Diferensiasi
Progresif
Dengan menggunakan strategi ini, guru mengajarkan
konsep-konsep yang paling inklusif dahulu, kemudian konsep-konsep yang kurang
inklusif, dan setelah itu baru mengajarkan hal-hal yang khusus, seperti
contoh-contoh setiap konsep. Proses penyusunan konsep semacam ini disebut
diferensiasi progresif dan merupakan salah satu dari sekian banayk macam urutan
belajar, ddikatakan juga bahwa konsep-konsep itu disusun secara hierarki.
3.
Penyesuaian
Integratif
Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran
hendaknya disusun demikian rupa hingga kita menggerakkan hierarki-hierarki
konseptual “ke atas dan ke bawah” selama informasi disajikan. Kita ddapat mulai
dengan konsep-konsep paling umum, tetapi kita perlu memperlihatkan bagaimana
terkaitnya konsep-konsep subordinat, kemudian bergerak kembali melalui
contoh-contoh ke arti-arti baru bagi konsep yang tingkatnya paling tinggi.
4.
Belajar
Superordinat
Belajar superordinat terjadi bila konsep-konsep yang
telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur suatu konsep yang lebih
luas, lebih inklusif.
Jerome Bruner
Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery learning. Teori ini
menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk
konsep, teori, definisi, dan sebaginya) melalui contoh-contoh yang
menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif
untuk mengetahui kebenaran umum.
Misalnya, untuk pertama kali memahami konsep
“kedisiplinan”, siswa tidak harus menghafal definisi kata tersebut, tetapi
mempelajari contoh-contoh konkret tentang perilaku yang menunjukkan
kedisiplinan dan yang tidak, dari cintoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk
mendefinisikan kata kedisiplinan.
Tiga tahap perkembangan
kognitif anak
- Enaktif (0 – 3
tahun),
- Ikonik (3-8
tahun),
- Simbolik
(>8 tahun)
Kebalikan dari pendekatan ini desebut “belajar
ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Siswa diberikan suatu informasi
umum dan diminta untuk mencari contoh-contoh khusus dan konkret yang dapat
menggambarkan makna dari informasi tersebut, proses belajar ini berjalan secara
deduktif.
Keuntungan belajar menemukan adalah sebagai berikut :
a.
Menimbulkan
rasa ingin tahu siswa, dapat memotivasi untuk menemukan jawaban-jawaban.
b.
Menimbulkan
keterampilan memecahkan masalah secara mandiri dan mengharuskan siswa untuk
menganalisa dan memanipulasi informasi.
D.
Teori
Belajar Humanistik
Bagi penganut
teori humanistik, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia. Dari
teori belajar yang ada, teori inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati
dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Teori ini bersifat eklektik, artinya
teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk “memanusiakan manusia”
(mencapai aktualisasi diri) dapat tercapai.
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa
sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai
pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri.
Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara
positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar.
Terhadap teori
humanistik ini, terdapat sejumlah kritik yang diajukan. Kritik tersebut antara
lain karena sifatnya yang terlalu deskriptif dan sulit diterjemahkan dalam
langkah-langkah yang praktis dan konkret. Namun, karena sifatnya yang
deskriptif, teori ini cenderung memberi arah proses belajar. Tujuan pendidikan
seharusnya bersifat ideal, dan teori humanistik inilah yang menjelaskan
bagimana tujuan ideal itu seharusnya. Teori humanistik ini akan sangat membantu
kita memahami proses belajar serta melakukan proses belajar itu dalam dimensi yang
lebih luas, jika kita mampu menempatkannya pada konteks yang tepat. Pada
gilirannya, akan membantu kita menentukan strategi belajar yang tepat secara
lebih sadar dan terarah, tidak semata-mata tergantung pada intuisi.
Pakar lain yang
termasuk ilmuwan kubu humanistik adalah Bloom dan Krathwohl, Kolb, Honey,
Mumford, Hubermas, Carl Rogers dan Abraham Maslow.
Bloom dan Krathwohl
Bloom dan
Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa
tercakup dalam tiga kawasan, yaitu kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor.
Taksonomi Bloom telah berhasil memberi inspirai kepada banyak pakar lain untuk
mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran.
Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom adalah
sebagai berikut :
1.
Domain
koognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
a. Pengetahuan (mengingat, menghafal)
b. Pemahaman (menginterprestasikan)
c. Aplikasi (menggunakan konsep untuk
memecahkan masalah)
d. Analisis (menjabarkan suatu konsep)
e. Sintesis (menggabungkan
bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh
f. Evaluasi (membandingkan nilai-nilai,
ide, metode, dsb.
2.
Domain
psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
a.
Peniruan
(menirukan gerak)
b.
Penggunaan
(menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
c.
Ketepatan
(melakukan gerak dengan benar)
d.
Perangkaian
(melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e.
Naturalisasi
(melakukan gerak secara wajar)
3.
Domain
afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
a.
Pengalaman
(ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
b.
Merespon (aktif berprtisipasi)
c.
Penghargaan
(menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu)
d.
Pengorganisasan
(menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
e.
Pengamalan
(menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)
Kolb
Kolb
membagi tahapan belajar dalam empat tahap, yaitu :
a.
Pengalaman konkret : pada tahap dini,
seorang siswa hanya mampu sekadar ikut mengalami suatu kejadian, ia belum
mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjaddi seperti itu.
Inilah yang terjadi pada tahap awal proses belajar.
b.
Pengamatan aktif dan reflektif : siswa
lambat laun mampu mengadakan pengamatan aktif terhadap kejadian itu, serta
mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c.
Konseptualisasi : siswa mulai belajar
membuat abstraksi atau “teori” tentang hal yang pernah diamatinya. Pada tahapan
ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum dari berbagai
contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda tetapi mempunyai landasan
aturan yang sama.
d.
Eksperimentasi aktif : pada tahap ini
siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru.
Menurut Kolb,
siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambunngan dan berlangsung
diluar kesadaran siswa. Meskipun dalam teorinya dapat dibuat garis tegas antara
tahap satu dengan tahap lainnya, namun seringkali terjadi begitu saja, sulit
ditentukan kapan beralihnya.
Honey dan Mumford
Berdasarkan
teori Kolb, Honey dan Mumford menggolongkan siswa atas empat tipe, yaitu
sebagai berikut :
a.
Kelompok aktivis
Orang-orang
yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan
diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah diajak
berdialog, memiliki pikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah
percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan suatu tindakan sering kali
kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya
untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada
hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru,
pengalaman baru dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem
solving, barin storming. Namun mereka akan cepat bosan dengan
kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b. Kelompok
reflektor
Mereka
yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan
dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan,
orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu memperhitungkan
dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah
dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
c. Kelompok
teoritis
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoritis,
mereka memiliki kecenderugan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu
berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering
dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau
memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis
dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas
dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh
pendapat orang lain.
d. Kelompok
pragmatis
Berbeda
dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat praktis, tidak
suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan
sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang
nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan.
Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat
dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya.
Bagi mereka, sesuatu lebih baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Habermas
Menurut Habermas, belajar
baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun
lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan
pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu belajar
teknis (technical learning), belajar praktis (practical learning),
dan belajar emansipatoris (emancypatory learning).
Masing-masing tipe memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Belajar teknis (technica learning)
Yang
dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat beinteraksi
dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang
dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola
lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau
sains amat dipentingkan dalam belajar teknis.
b. Belajar praktis (practical
learning)
Belajar
praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan
belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama
manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan sosiologi, komunikasi,
psikologi, antropologi, dan semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun demikian,
mereka percaya bahwa pemahaman dan keterampilan seseorang dalam mengelola
lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada
umumnya. Oleh sebab itu, interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan
alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan
manusia.
c. Belajar emansipatoris (emancypatory
learning)
Belajar
emansipatoris menekanan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan
kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau informasi budaya dalam
lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan
dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi
kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan
bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap trasformasi kultural
inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi,
sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan paling tinggi.
Carl Rogers
Carl
Rogers mengemukakan bahwa siswa yang belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan
dibiarkan belajar bebas, siswa diharapkan dapat mengambil keputusan sendiri dan
berani bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya sendiri. Dalam
konteks tersebut, Rogers mengemukakan lima hal penting dalam proses belajar
humanistik, yaitu sebagai berikut :
a.
Hasrat untuk belajar : Hasrat untuk belajar
disebabkan adanya hasrat ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia
sekelilingnya. Dalam proses mencari jawabnya, seseorang mengalami
aktivitas-aktivitas belajar.
b.
Belajar bermakna : Seseorang yang
beraktivitas akan selalu menimbang-nimbang apakah aktivitas tersebut mempunyai
makna bagi dirinya. Jika tidak, tentu tidak akan dilakukannya.
c.
Belajar tanpa hukuman : Belajar yang terbebas
dari ancaman hukuman mengakibatkan anak bebas melakukan apa saja, mengadakan
eksperimentasi hingga menemukan sesndiri sesuatu yang baru.
d.
Belajar dengan inisiatif sendiri : Menyiratkan
tingginya motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak berinisiatif,
mampu mengarahkan dirinya sendiri serta berusaha menimbang sendiri hal yang
baik bagi dirinya.
e.
Belajar dan perubahan : dunia terus berubah,
karena itu siswa harus belajar untuk dapat menghadapi kondisi dan situasi yang
terus berubah. Dengan demikian belajar yang hanya sekadar mengingat fakta atau
menghafal sesuatu dipandang tak cukup.
Arthur Combs
Belajar
terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi
yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa
matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan
terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus
mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia
persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus
berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Perilaku
internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak
guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah
menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana
membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Abraham Maslow
Teori
Maslow yang sangat terkenal adalah teori kebutuhan. Kebutuhan pada diri manusia
selalu menuntut pemenuhan, dimulai dari tahapan yang paling dasar secara
hierarkis menuju kepada kebutuhan yang paling tinggi. Tahapan-tahapan kebutuhan
tersebut dalah sebagai berikut :
a.
Psysiological
needs : kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan akan makan dan
minum, pakaian dan tempat tinggal, termasuk juga kebutuhan biologis. Disebut
sebagai kebutuhan paling dasar karena dibutuhkan semua makhluk hidup, termasuk
manusia.
b.
Safety/security
needs : kebutuhan akan rasa aman secara fisik dan psikis. Aman
secara fisik, seperti terhindar dari gangguan kriminalitas, teroris, binatang
buas, orang lain, tempat yang tidak aman dan sebagainya. Aman secara psikis,
misalnya tidak kena marah, tidak diejek, tidak direndahkan, tidak dimutasikan
dengan tidak jelas, dan sebagainya.
c.
Social
needs : kebutuhan sosial dibutuhkan manusia agar ia dianggap
sebagai warga komunitas sosialnya. Bagi siswa agar dapat belajar dengan baik,
ia harus merasa diterima dengan baik oleh teman-temannya.
d.
Esteem
needs : kebutuhan ego termasuk keinginan untuk berprestasi dan
memiliki prestise. Seseorang membutuhkan kepercayaan dan tanggung jawab dari
orang lain. Dalam pembelajaran, dengan diberikan tugas-tugas yang menantang,
maka siswa akan terpenuhi kebutuhan egonya.
e.
Self-actualization
needs : kebutuhan aktualisasi adalah kebutuhan untuk
membuktikan dan menunjukkan dirinya kepada orang lain. Pada tahap ini seseorang
mengembangkan semaksimal mungkin potensi yang dimilikinya. Untuk dapat
mengaktualisasikan dirinya, siswa perlu suasana dan lingkungan yang kondusif.
E. Teori
Belajar Konstruktivistik
Belajar
menurut konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan
mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pengertian yang
sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan
yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Menurut
teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun
sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan
kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi
sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang
lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan
kata – kata mereka sendiri.
Kelebihan
dan Kelemahan Teori Konstrutivistik
Ø Kelebihan
1. Berfikir alam proses membina
pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan
membuat keputusan.
2. Faham :Oleh kerana murid
terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham
dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3. Ingat :Oleh kerana murid
terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka.
Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi
baru.
4. Kemahiran sosial :Kemahiran
sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina
pengetahuan baru.
5. Seronok :Oleh kerana mereka
terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan
sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
Ø Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan
atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran
guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.
Implikasi Teori
Konstruktivistik di Kelas
Berdasarkan
ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka
tentang penerapan di kelas.
1. Mendorong
kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai
gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri,
berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa
yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta
menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar
mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2.
Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan
memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif
memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan
komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa
merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan
dalam melakukan penyelidikan
3. Mendorong
siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses
pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau
hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru
mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui
analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau
pemikirannya
4. Siswa
terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang
merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu
siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka
memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan
gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya
sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman
dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan
terjadi di kelas
5. Siswa
terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan
untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai
hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam
belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji
hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman
nyata.
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber
utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang
menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan
menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa
untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena
alam tersebut secara bersama-sama.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Reigeluth mengemukakan bahwa, teori
prespektif adalah goal oriented,
sedangkan teori deskriptif adalah goal
free. Maksudnya adalah teori pembelajaran prespektif dimaksudkan untuk
mencapai tujuan, sedangkan teori pembelajaran deskriptif dimaksudkan untuk
memberikan hasil.
Menurut teori belajar bahavioristik atau
aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar tidaknya
seseorang bergantung kepada faktor-faktor yang diberikan lingkungan. Beberapa
ilmuwan yang termasuk pendiri sekaligus penganut behavioristik, antara lain
adalah Thorndike, Watson, hull, Guthrie, dan Skinner.
Menurut teori belajar kognitif, belajar tidak
sedakar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu,
belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya sangat menentukan hasil belajar. Termasuk
ilmuwan dengan kategori kognitif adalah Gagne, Piaget, Ausubel, Brunner.
Bagi penganut teori humanistik, proses
belajar dilakukan dengan memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada
individu. Si belajar diharapkan dapat mengambil keputusannya sendiri dan
bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang dipilihnya. Termasuk ilmuwan
dengan kategori teori humanistik adalah Bloom dan Krathwohl, Kolb, Honey,
Mumford, Habermas, Abraham Maslow, dan carl Rogers.
Teori konstruktivistik memahami belajar
sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu
sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui dan
tidak dapat dipisahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) kepada orang lain
(siswa).
DAFTAR PUSTAKA
Wilis,
Ratna. 2006. “Teori-Teori Belajar dan
Pembelajaran”. Bandung : Erlangga.
Nara,
Hartini. 2010. “Teori Belajar dan
Pembelajaran”. Bogor : Ghalia Indonesia.
Syah,
Muhibbin. 2003. “Psikologi Belajar”.
Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Hamid,
Abdul. 2009. “Teori Belajar dan
Pembelajaran”. Medan.