"Ego Menutup Mata Hatiku"
Kokokan ayam membangunkanku dari lelapnya mimpi. Suara adzan yang bersahutan memecah keheningan malam. Ditambah dengan rintihan hujan yang membuat udara lebih dingin, menusuk ke sumsum tulangku. Mataku masih terasa berat seperti dibebani berat beratus-ratus ton, sedikit agak malas kurasa untuk bangkit. “Ahh, syaitan memang pandai menggoda.” Batinku dalam hati. Dengan langkah kaki yang tak bersemangat dan sesekali jari ini mengucek mata, aku bangkit dan menuju kamar mandi. Air yang terasa sangat dingin bak salju di kutub membuatku semakin malas untuk menyentuhnya. Tapi kulawan rasa malas itu. Sungguh syaitan itu pasti selalu mencari cara untuk membuat manusia lalai. Hujan masih turun membasahi bumi. Terasa sangat sejuk. Lantunan ayat suci dari mushaf yang kubaca membuat hati terasa lebih sejuk dan tenang. “Ya Rabb, terima kasih atas Rahmat yang Kau berikan pada ku hari ini. Peliharalah aku disetiap langkahku.” Doa ku sambil menutup Al-Quran.
Kokokan ayam membangunkanku dari lelapnya mimpi. Suara adzan yang bersahutan memecah keheningan malam. Ditambah dengan rintihan hujan yang membuat udara lebih dingin, menusuk ke sumsum tulangku. Mataku masih terasa berat seperti dibebani berat beratus-ratus ton, sedikit agak malas kurasa untuk bangkit. “Ahh, syaitan memang pandai menggoda.” Batinku dalam hati. Dengan langkah kaki yang tak bersemangat dan sesekali jari ini mengucek mata, aku bangkit dan menuju kamar mandi. Air yang terasa sangat dingin bak salju di kutub membuatku semakin malas untuk menyentuhnya. Tapi kulawan rasa malas itu. Sungguh syaitan itu pasti selalu mencari cara untuk membuat manusia lalai. Hujan masih turun membasahi bumi. Terasa sangat sejuk. Lantunan ayat suci dari mushaf yang kubaca membuat hati terasa lebih sejuk dan tenang. “Ya Rabb, terima kasih atas Rahmat yang Kau berikan pada ku hari ini. Peliharalah aku disetiap langkahku.” Doa ku sambil menutup Al-Quran.
Hari Minggu adalah hari yang pas untuk berkumpul dengan
keluarga. Setelah lelah dalam sepekan mengerjakan segala aktivitas yang
membuatku jarang bertemu dengan Umi dan Abi. Seperti biasa setiap minggu aku selalu
membantu Umi di dapur. Sedangkan Abi sibuk dengan hobinya mengotak-ngatik
peralatan elektronik. Adik laki-lakiku yang masih berumur 3 tahun hanya bisa
bermain dengan teman-temannya. Sungguh aku bahagia mempunyai keluarga seperti
mereka.
Pagi itu aku ingin meminta sesuatu pada umi. Pianika, ya
aku ingin pianika. Aku suka mendengar suara yang keluar dari alat musik itu. Aku
ingin belajar agar bisa mahir memainkannya.
“Mi, boleh minta sesuatu ?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Apa ?” jawab umi dengan nada yang datar.
“Kakak pengen pianika. Belikan Kakak pianika Mi.”
Umi hanya terdiam mendengar permintaanku itu.
“Ya Mi, belikan Kakak pianika. Kakak kan juga pengen
menguasai satu alat musik. Lagi pula untuk ujian akhir semester nanti, kami ditugaskan
untuk memainkan pianika.” Pujukku lagi.
“Apa sih kak, kamu ini selalu minta uang saja. Kamu kira
uang itu tinggal di petik dari pohon. Skali minta langsung ada.” Jawab Umi
dengan nada yang sedikit keras.
“Loh Kakakkan gak minta sekarang Mi, Kakak cuma bilang
kalau Kakak pengen punya pianika. Terserah Umi mau kapan belikannya.”
“Ah sudah la, gak usah minta yang aneh-aneh. Masih banyak
yang lebih penting dari pianika itu.” bentak umi dengan nada yang lebih keras
lagi.
Mendengar bentakan Umi, aku seperti disambar petir di
siang bolong. Kenapa dengan umi ? apa yang terjadi dengan umi ? kenapa
tiba-tiba dia jadi kasar padaku ? apa ada perkataanku yang salah ? atau
permintaanku yang terlalu berlebihan ? Hanya ada beribu tanda tanya di benakku,
tanpa ada sebuah jawaban.
Tanpa kusadari air mata ini menetes. Terasa sangat sakit
bentakan Umi tadi. Langsung ku berlari ke kamar dan mengunci pintu. Tak pernah
Umi seperti ini. Tak pernah dia membentakku sekeras ini. Apa salahku ?
sejenakku berfikir, mungkin Umi sedang banyak masalah sehingga emosinya tidak
terkontrol, atau dia sedang tidak punya uang untuk membelikanku pianika. Egoku
pun mulai muncul. Ada perasaan kecewa pada Umi, sehingga membuatku tidak mau
berbicara dengannya lagi. “Ya Allah, jangan sampai hawa nafsu menguasaiku.”
Rintihku dalam hati.
Merasa bosan aku dirumah sejak kejadian tadi pagi, aku
pun berniat untuk pergi keluar bersama teman-temanku, menghilangkan semua penat
yang ada di hatiku. Ingin sekali rasanyaku berlari sejauh mungkin dan berteriak
sekerasnya dan mengatakan kalau aku benci Umi. Yah, syaitan telah merasuki
fikiranku, sehingga membuat aku hilang kendali, membuat ku sampai berani
melawan orangtuaku sendiri.
Sebentar lagi raja siang akan kembali ke peraduannya,
membawa seberkas luka di hatiku. Luka yang disebabkan oleh kata-kata Umiku
sendiri. “Ya Allah, berdosakah aku ?” Tiba-tiba handphoneku berbunyi, telepon
dari Umi. Ahh Umi, tak ingin rasanyaku mendengar suaramu, hatiku sudah terlalau
sakit. Mungkin karena bentakan pertamamu itu.
Telihat dari jauh Umi sedang menungguku di beranda rumah.
Ooh sungguh untuk saat ini aku tak ingin bertemu dengannya. Takku hiraukan dia
yang telah lama menungguku. Aku masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam
dan mengecup pipinya seperti biasa. Raut kecewa tampak jelas terlihat di
wajahnya. Tapi ego telah menguasaiku.
Dewi malam telah keluar dari balik awan, menemaniku yang
sedang sendirian. Kurebahkan tubuh ini ke kasur. Tulang-tulang belakangku
terasa sangat sakit, seperti di timpa bangunan bertingkat, mungkin karena aku
kurang istirahat dalam sepekan ini. Kuambil air wudhu
untuk menyejukkan hatiku dan kutunaikan
kewajibanku, sungguh hati ini terasa lebih tenang dari sebelumnya, ditambah
lagi lantunan ayat suci dari mushaf yang kubaca membuat fikiran jernih kembali.
Ku hampiri Abi dan adikku yang sedang asik menonton di
ruang tengah. Takku lihat senyum Umi disana.
“Kemana tadi kamu Kak ? kok lama kali pulangnya ?” tanya Abi padaku.
“Ke rumah temen Bi. Bosan di rumah.” Jawabku sekenanya.
“Kok bosen Kak ?” tanya adikku ikut-ikutan.
“Ihh kamu mau tau aja urusan Kakak.” Kugelitiki adikku
sampai dia menjerit minta ampun. Abi hanya tertawa melihat kelakuan kami,
sedangkan Umi masih sibuk dengan jahitannya dan tidak memberi sedikit pun
senyum untuk kami.
“Kakak ke kamar dulu ya Bi, ada yang mau di kerjain.” Kataku
sembari bangkit dari duduk dan mencium pipi adikku.
“Ikut la kak.” Pinta adikku polos.
“Ndak boleh, anak kecil ndak boleh ikut.”
“Dasar Kakak pelit. Wooooo.” Ejek adikku.
Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahnya yang masih polos itu. Tak sedikitpun kudengar
suara Umi malam ini, sepertinya dia tau kalau aku sedang tak ingin mendengar
suaranya. Oh Umi maafkan aku, tapi sungguh masih sangat terasa luka itu.
Seperti
biasa, di sepertiga malam ku terjaga. Kubersujud memohan ampunan akan segala
dosa yang telah kuperbuat. Setelah mengambil wudhu bergegasku menuju ruang
sholat yang terletak di sebelah kamar Abi dan Umi. Kulihat Umi telah lebih dulu
bersujud pada Rabb pencipta alam. Tak sengaja kudengar suaranya yang sedikit
serak berdoa.
“Ya Rabb ampuni hamba, hamba
merasa gagal menjalankan amanahMu. Hamba tak bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak
hamba. Hamba terlalu memikirkan perasaan hamba tanpa memikirkan perasaan
anak-anak hamba. Ya Rahman, ya Rahim, sungguh diri ini kerdil, sungguh diri ini
jauh dari kesempurnaan, hamba hanya ingin menjadi ibu yang baik, menjadi
tauladan yang baik bagi anak-anak hamba. Sungguh hamba sangat menyayangi
mereka. Ampunilah segala
khilaf dan dosa
hamba.” Doanya pada Allah sambil bercucuran air mata.
Hatiku tersentuh
mendengar doa Umi. Berdosanya aku tak kurasakan kasih
sayangnya. Betapa durhakanya aku ini,
membenci umiku sendiri karena terlalu mementingkan egoku. Tak bisa kupahami inginnya, tak bisa kumengerti maksud
tulusnya. Ya Allah ampuni aku yang telah mendzhalimi Umiku sendiri.
Ku lukai hati dan perasaanya. Sungguhku tak
ingin menjadi anak yang durhaka, sungguhku tak ingin menjadi si malin kundang.
Ya Allah
ampuni aku. Kutau, ridho-Mu terletak pada ridho orangtuaku.
Betapa menyesal aku telah bersikap seperti itu pada Umi.
Sedikit demi sedikit air mata membasahi pipiku karena tak kuasa diri ini untuk
menahannya. Kucoba tuk tetap tegar
berdiri di pijakanku, meskipun hati ini melayang tak tentu
arah dan tujuan. Tanpa berfikir
panjang langsung kupeluk Umi dan kucium kakinya. Aku minta maaf padanya atas
kesalahan dan kebodohanku.
“Umi maafkan Kakak, Kakak telah durhaka pada Umi. Maafkan
kakak Mi. Kakak sayang Umi.” Lirihku dengan bercucuran air mata.
“Iya nak, maafkan Umi juga. Umi janji akan menjadi ibu
yang baik untukmu dan adikmu.”
Bumi pun ikut menangis di tengah malam sunyi itu.
Gemercik dedaunan menambah heningnya malam itu. Suara petir
terdengar sambar-menyambar. Raut bahagia terpancar dari wajah yang penuh
cahaya. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Kau telah mempersatukan aku
kembali dengan Umi. Kau telah membuka
hati dan fikiranku. Kan kujadikan ini pelajaran yang paling berharga dalam
hidupku. Aku mencintaimu Umi.
*SEKIAN*