Selasa, 14 Mei 2013

Cerpen Pertamaku :)


                                        "Ego Menutup Mata Hatiku"

Kokokan ayam membangunkanku dari lelapnya mimpi. Suara adzan yang bersahutan memecah keheningan malam. Ditambah dengan rintihan hujan yang membuat udara lebih dingin, menusuk ke sumsum tulangku. Mataku masih terasa berat seperti dibebani berat beratus-ratus ton, sedikit agak malas kurasa untuk bangkit. “Ahh, syaitan memang pandai menggoda.” Batinku dalam hati. Dengan langkah kaki yang tak bersemangat dan sesekali jari ini mengucek mata, aku bangkit dan menuju kamar mandi. Air yang terasa sangat dingin bak salju di kutub membuatku semakin malas untuk menyentuhnya. Tapi kulawan rasa malas itu. Sungguh syaitan itu pasti selalu mencari cara untuk membuat manusia lalai. Hujan masih turun membasahi bumi. Terasa sangat sejuk. Lantunan ayat suci dari mushaf yang kubaca membuat hati terasa lebih sejuk dan tenang. “Ya Rabb, terima kasih atas Rahmat yang Kau berikan pada ku hari ini. Peliharalah aku disetiap langkahku.” Doa ku sambil menutup Al-Quran.
Hari Minggu adalah hari yang pas untuk berkumpul dengan keluarga. Setelah lelah dalam sepekan mengerjakan segala aktivitas yang membuatku jarang bertemu dengan Umi dan Abi. Seperti biasa setiap minggu aku selalu membantu Umi di dapur. Sedangkan Abi sibuk dengan hobinya mengotak-ngatik peralatan elektronik. Adik laki-lakiku yang masih berumur 3 tahun hanya bisa bermain dengan teman-temannya. Sungguh aku bahagia mempunyai keluarga seperti mereka.
Pagi itu aku ingin meminta sesuatu pada umi. Pianika, ya aku ingin pianika. Aku suka mendengar suara yang keluar dari alat musik itu. Aku ingin belajar agar bisa mahir memainkannya.
“Mi, boleh minta sesuatu ?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Apa ?” jawab umi dengan nada yang datar.
“Kakak pengen pianika. Belikan Kakak pianika Mi.”
Umi hanya terdiam mendengar permintaanku itu.
“Ya Mi, belikan Kakak pianika. Kakak kan juga pengen menguasai satu alat musik. Lagi pula untuk ujian akhir semester nanti, kami ditugaskan untuk memainkan pianika.”  Pujukku lagi.
“Apa sih kak, kamu ini selalu minta uang saja. Kamu kira uang itu tinggal di petik dari pohon. Skali minta langsung ada.” Jawab Umi dengan nada yang sedikit keras.
“Loh Kakakkan gak minta sekarang Mi, Kakak cuma bilang kalau Kakak pengen punya pianika. Terserah Umi mau kapan belikannya.”
“Ah sudah la, gak usah minta yang aneh-aneh. Masih banyak yang lebih penting dari pianika itu.” bentak umi dengan nada yang lebih keras lagi.
Mendengar bentakan Umi, aku seperti disambar petir di siang bolong. Kenapa dengan umi ? apa yang terjadi dengan umi ? kenapa tiba-tiba dia jadi kasar padaku ? apa ada perkataanku yang salah ? atau permintaanku yang terlalu berlebihan ? Hanya ada beribu tanda tanya di benakku, tanpa ada sebuah jawaban.
Tanpa kusadari air mata ini menetes. Terasa sangat sakit bentakan Umi tadi. Langsung ku berlari ke kamar dan mengunci pintu. Tak pernah Umi seperti ini. Tak pernah dia membentakku sekeras ini. Apa salahku ? sejenakku berfikir, mungkin Umi sedang banyak masalah sehingga emosinya tidak terkontrol, atau dia sedang tidak punya uang untuk membelikanku pianika. Egoku pun mulai muncul. Ada perasaan kecewa pada Umi, sehingga membuatku tidak mau berbicara dengannya lagi. “Ya Allah, jangan sampai hawa nafsu menguasaiku.” Rintihku dalam hati.
Merasa bosan aku dirumah sejak kejadian tadi pagi, aku pun berniat untuk pergi keluar bersama teman-temanku, menghilangkan semua penat yang ada di hatiku. Ingin sekali rasanyaku berlari sejauh mungkin dan berteriak sekerasnya dan mengatakan kalau aku benci Umi. Yah, syaitan telah merasuki fikiranku, sehingga membuat aku hilang kendali, membuat ku sampai berani melawan orangtuaku sendiri.
Sebentar lagi raja siang akan kembali ke peraduannya, membawa seberkas luka di hatiku. Luka yang disebabkan oleh kata-kata Umiku sendiri. “Ya Allah, berdosakah aku ?” Tiba-tiba handphoneku berbunyi, telepon dari Umi. Ahh Umi, tak ingin rasanyaku mendengar suaramu, hatiku sudah terlalau sakit. Mungkin karena bentakan pertamamu itu.
Telihat dari jauh Umi sedang menungguku di beranda rumah. Ooh sungguh untuk saat ini aku tak ingin bertemu dengannya. Takku hiraukan dia yang telah lama menungguku. Aku masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam dan mengecup pipinya seperti biasa. Raut kecewa tampak jelas terlihat di wajahnya. Tapi ego telah menguasaiku.
Dewi malam telah keluar dari balik awan, menemaniku yang sedang sendirian. Kurebahkan tubuh ini ke kasur. Tulang-tulang belakangku terasa sangat sakit, seperti di timpa bangunan bertingkat, mungkin karena aku kurang istirahat dalam sepekan ini. Kuambil air wudhu untuk menyejukkan hatiku dan kutunaikan kewajibanku, sungguh hati ini terasa lebih tenang dari sebelumnya, ditambah lagi lantunan ayat suci dari mushaf yang kubaca membuat fikiran jernih kembali.
Ku hampiri Abi dan adikku yang sedang asik menonton di ruang tengah. Takku lihat senyum Umi disana.
“Kemana tadi kamu Kak ? kok lama kali pulangnya ?” tanya Abi padaku.
“Ke rumah temen Bi. Bosan di rumah.” Jawabku sekenanya.
“Kok bosen Kak ?” tanya adikku ikut-ikutan.
“Ihh kamu mau tau aja urusan Kakak.” Kugelitiki adikku sampai dia menjerit minta ampun. Abi hanya tertawa melihat kelakuan kami, sedangkan Umi masih sibuk dengan jahitannya dan tidak memberi sedikit pun senyum untuk kami.
“Kakak ke kamar dulu ya Bi, ada yang mau di kerjain.” Kataku sembari bangkit dari duduk dan mencium pipi adikku.
“Ikut la kak.” Pinta adikku polos.
“Ndak boleh, anak kecil ndak boleh ikut.”
“Dasar Kakak pelit. Wooooo.” Ejek adikku.
Aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahnya yang masih polos itu. Tak sedikitpun kudengar suara Umi malam ini, sepertinya dia tau kalau aku sedang tak ingin mendengar suaranya. Oh Umi maafkan aku, tapi sungguh masih sangat terasa luka itu.
            Seperti biasa, di sepertiga malam ku terjaga. Kubersujud memohan ampunan akan segala dosa yang telah kuperbuat. Setelah mengambil wudhu bergegasku menuju ruang sholat yang terletak di sebelah kamar Abi dan Umi. Kulihat Umi telah lebih dulu bersujud pada Rabb pencipta alam. Tak sengaja kudengar suaranya yang sedikit serak berdoa.
“Ya Rabb ampuni hamba, hamba merasa gagal menjalankan amanahMu. Hamba tak bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak hamba. Hamba terlalu memikirkan perasaan hamba tanpa memikirkan perasaan anak-anak hamba. Ya Rahman, ya Rahim, sungguh diri ini kerdil, sungguh diri ini jauh dari kesempurnaan, hamba hanya ingin menjadi ibu yang baik, menjadi tauladan yang baik bagi anak-anak hamba. Sungguh hamba sangat menyayangi mereka. Ampunilah segala khilaf dan dosa hamba.” Doanya pada Allah sambil bercucuran air mata.
Hatiku tersentuh mendengar doa Umi. Berdosanya aku tak kurasakan kasih sayangnya. Betapa durhakanya aku ini, membenci umiku sendiri karena terlalu mementingkan egoku. Tak bisa kupahami inginnya, tak bisa kumengerti maksud tulusnya. Ya Allah ampuni aku yang telah mendzhalimi Umiku sendiri. Ku lukai hati dan perasaanya. Sungguhku tak ingin menjadi anak yang durhaka, sungguhku tak ingin menjadi si malin kundang. Ya Allah ampuni aku. Kutau, ridho-Mu terletak pada ridho orangtuaku.
Betapa menyesal aku telah bersikap seperti itu pada Umi. Sedikit demi sedikit air mata membasahi pipiku karena tak kuasa diri ini untuk menahannya. Kucoba tuk tetap tegar berdiri di pijakanku, meskipun hati ini melayang tak tentu arah dan tujuan. Tanpa berfikir panjang langsung kupeluk Umi dan kucium kakinya. Aku minta maaf padanya atas kesalahan dan kebodohanku.
“Umi maafkan Kakak, Kakak telah durhaka pada Umi. Maafkan kakak Mi. Kakak sayang Umi.” Lirihku dengan bercucuran air mata.
“Iya nak, maafkan Umi juga. Umi janji akan menjadi ibu yang baik untukmu dan adikmu.”
Bumi pun ikut menangis di tengah malam sunyi itu. Gemercik dedaunan menambah heningnya malam itu. Suara petir terdengar sambar-menyambar. Raut bahagia terpancar dari wajah yang penuh cahaya. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Kau telah mempersatukan aku kembali  dengan Umi. Kau telah membuka hati dan fikiranku. Kan kujadikan ini pelajaran yang paling berharga dalam hidupku. Aku mencintaimu Umi.

*SEKIAN*




Tidak ada komentar:

Posting Komentar